RSS

Ping Pong Diplomacy (bag.2)

03 Aug

Oleh: Shohib Masykur

SEJAK BERKUASANYA Partai Komunis China (PKC) di bawah pimpinan Mao Zedong tahun 1949, Amerika Serikat memutuskan hubungan diplomatik dengan China. Maklum, sejak awal Amerika mendukung Partai Kuomintang yang nasionalis di bawah pimpinan Chiang Kaisek. Ketika mendapati ‘boneka’-nya dihancurkan oleh Mao dan dipaksa menyingkir ke Pulau Formosa (Taiwan), Amerika segera menutup pintu hatinya untuk China. Embargo perdagangan pun segera diterapkan atas China. Namun melihat perkembangan konstelasi ideologi dan politik yang terjadi, mau tak mau Amerika harus mengendurkan sikapnya terhadap China. Sebab bagaimanapun Soviet dianggap lebih berbahaya ketimbang China. Untuk membendung Soviet, Amerika perlu merangkul China. Dengan tindakannya itu, Amerika ingin memecah belah kekuatan geng komunis sekaligus memperkuat kekuatan barisannya sendiri. Dan momentum itupun datang dengan memanasnya hubungan Soviet-China akibat konflik perbatasan di akhir 1960-an, bertepatan dengan naiknya Nixon sebagai Presiden AS pada tahun 1969.

Hubungan China dengan Soviet sendiri memang tidak pernah mesra meski keduanya sama-sama negara komunis. Akar persoalannya ada pada keterbelahan ideologi (ideological split) dan strategi gerakan yang sebenarnya sudah berlangsung lama. Saat Mao memimpin PKC merebut kekuasaan dari tangan Partai Kuomintang yang berhaluan nasionalis dan di-back-up Amerika pada tahun 1940-an, Soviet yang kala itu dipimpin Stalin memberikan berbagai nasihat dan panduan. Namun arahan dari ‘saudara tua’ itu tidak dipatuhi oleh Mao. Misalnya, Soviet menyarankan agar Mao menggunakan kekuatan buruh untuk melancarkan revolusi dan merebut kekuasaan. Namun Mao yang melihat kondisi obyektif di China lain dengan di Rusia memilih jalan lain. Proses industrialisasi di China belum semasif di Rusia. Sementara mayoritas penduduk China bukanlah buruh industri, melainkan petani. Karena itu Mao memilih menggunakan petani sebagai kekuatan penggerak revolusi dengan strategi ‘Desa Mengepung Kota.’

Hal ini dipandang sebagai in-subordinasi alias pembangkangan oleh Soviet. Dalam masyarakat komunis, insubordinasi adalah dosa besar yang tidak bisa ditolerir. Karena itulah hubungan keduanya menjadi tidak akur. Sementara di sisi lain, China sendiri menganggap Soviet telah menghianati ajaran Marxisme-Leninisme dan berkolusi dengan imperialisme, terutama sejak Soviet dipimpin oleh Nikita Khrushchev. Sementara China masih trauma dengan pengalaman imperialisme, Soviet sudah tidak lagi begitu peduli terhadap imperialisme karena merasa posisinya sudah aman. Bahkan Soviet tak segan-segan melakukan hubungan dagang dengan negara-negara imperialis Barat. Hal itu tentu saja menyakiti hati China yang sesungguhnya berharap ‘saudara tua-’nya itu lebih memiliki empati terhadapnya.

Menjelang akhir 1960-an, keterbelahan ideologi itu semakin memanas dan hampir bertransformasi menjadi perang terbuka karena adanya konflik perbatasan. Sebuah pulau bernama Damansky Island (versi Soviet) atau Chenpao (versi China) di kawasan Ussuri River diperebutkan oleh kedua negara. Sengketa pulau itu sendiri sudah mulai mengemuka sejak 1963. Pada bulan Maret 1969, terjadi dua kali kontak senjata antara tentara China dengan tentara Soviet di pulau tersebut. Namun kedua belah pihak saling menahan diri karena takut terjadi perang nuklir mengingat dua negara ini sama-sama memiliki senjata nuklir.

Momentum itu pun tidak disia-siakan oleh Nixon yang menerapkan kebijakan “musuh dari musuh adalah teman.” Dia segera memutar haluan kebijakan Amerika terhadap China dengan berupaya merangkulnya menjadi teman. Namun sebegitu jauh Nixon masih belum menemukan cara yang tepat untuk melakukan pe-de-ka-te. Maklum, ibarat seorang gadis, China adalah sosok yang dingin, keras kepala, mau menang sendiri, dan tak kenal kompromi. Tak mudah untuk mendekatinya. Namun gadis itu pun luar biasa cantik dan menariknya sehingga banyak pemuda yang ingin mendekat. Karena itu, dengan cara apapun Nixon berjanji untuk mendapatkannya.

Jauh hari sebelum menjadi presiden, Nixon pernah mengemukakan keinginannya merangkul China dalam sebuah tulisan berjudul “Asia After Vietnam” di jurnal Foreign Affairs edisi Oktober 1967. Tulisan itu melambungkan reputasinya dan membantunya memenangkan pemilu.

“Taking the loving view we simply connot afford to leave China forever outside the family of nations,” tulisnya.

Ucapan senada, namun dengan sentimen yang lebih kuat, diulanginya dalam sebuah wawancara dengan majalah Time tak lama setelah secara resmi dia dinominasikan sebagai calon presiden dari Partai Republik. “If there is anything I want to do before I die, it is to go to China,” ujarnya kepada Time.

Dalam rangka mendekati China, Nixon tidak berani langsung main tembak dan merasa butuh comblang. Maka dipilihlah Presiden Pakistan Yahya Khan. Pada tanggal 25 Oktober 1970, Nixon meminta Khan mengirimkan pesan lisan ke China bahwa Amerika ingin menormalisasi hubungannya dengan China. Untuk keperluan itu, Amerika bermaksud mengirim salah seorang pejabat tingginya secara diam-diam ke China. Guna merayu China, Nixon bersedia memanggilnya dengan sebutan resmi yang selama ini tidak pernah digunakan AS di depan publik, yakni “People’s Republic of China.”

Rayuan Nixon tersebut manjur. Khan yang dikirim sebagai comblang mengabarkan bahwa China memberi sinyal positif. Sang pemimpin tertinggi, Mao Zedong, telah memberikan restunya. Sampai di sini, boleh dibilang pe-de-ka-te Nixon menunjukkan masa depan yang cerah. ‘Gadis berhati es’ itu tampaknya sudah mulai mencair. Namun demikian, kunjungan tidak bisa segera dilakukan karena beberapa pertimbangan teknis, seperti siapa yang akan berkunjung ke China, kapan kunjungan dilakukan, dan lain-lain. Maka Nixon pun dituntut bersabar menghadapi ‘si cantik’ yang rewel itu.

bersambung….

 
Leave a comment

Posted by on 3 August 2010 in Diplomatologi, Uncategorized

 

Leave a comment