RSS

Laut China Selatan: problematika dan prospek penyelesaian masalah

27 Jan

Oleh: Ahmad Almaududy Amri*

Banyak orang pernah mendengar dan bahkan mengetahui permasalahan Laut Cina Selatan (LCS) yang terjadi saat ini. Namun, banyak pula yang masih asing dan bingung akan latar belakang masalah: apa saja yang diklaim? Oleh siapa saja? Dan saat ini posisi persoalannya bagaimana?

Tulisan ini akan mencoba membahas dan menjeleskan peroblematika yang terjadi di wailayah LCS secara umum, singkat, dan jelas dengan tujuan agar mudah dimengerti dan dipahami. Selain itu, akan ada pula pandangan penulis mengenai prospek penyelesaian masalah ke depan. Semoga tulisan ini bermanfaat dan berguna bagi para pembaca.

Tulisan ini khusus dipersembahkan untuk ulangtahun ke-3 Sekdilu 35. Saya pribadi berdoa agar teman-teman seangkatan diberikan kesehatan, kesuksesan, dan kekompakan untuk maju terus membangun Indonesia. Tulisan ini ditulis pada tanggal 27 Januari 2012, dalam nuansa Australian Day.

Latar belakang masalah

Permasalahan LCS dilatarbelakangi oleh tiga faktor penting yaitu, ekonomi, strategic, dan politik. Ketiga faktor tersebut merupakan motif utama bagi claimant state (negara penuntut) untuk mempertahankan haknya di wilayah LCS. Yang menjadi objek sengketa para pihak di LCS terfokus pada dua pulau utama, yaitu Spratly dan Paracels. Negara-negara yang menjadi claimant sates untuk pulau Spratly adalah Brunei, China, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam. Dua negara terakhir juga menuntut kepemilikan akan Paracels yang berada di bawah kontrol China sejak tahun 1974.

Kenapa penting dari segi ekonomi? Karena daerah LCS diyakini kaya akan minyak, gas bumi, dan prikanan. Kenapa penting secara strategic? Karena penguasaan LCS, khususnya bagi China, akan memperkokoh posisi mereka sebagai salah satu global power. Selain itu, komando dan kontrol atas LCS akan memperkuat posisi negara dari segi maritime regime mengingat wilayah tersebut merupakan “the heart of Southeast Asia” dari segi aktivitas maritim. Alasan terakhir adalah aspek politik. Kenapa politik? Karena permasalahan LCS menyangkut masalah klaim teritori. Kekalahan dalam mempertahankan daerahnya akan menimbulkan masalah domestik, sehingga dipandang perlu oleh claimant states untuk mempertahankannya sesuai dengan penafsiran dan pandangan masing-masing demi kedaulatan negara.

Jika kita melihat dari segi hukum internasional, khususnya dari United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 yang konten utamanya mencakup mengenai batas maritim dan pemberian hak atas kekayaan laut, maka ketiga aspek penting di atas menjadi sangat realistis. Ketika sebuah negara memiliki batas wilayah darat tertentu yang berbatasan dengan laut, maka kepemilikan tersebut akan berimplikasi pada kepemilikan wilayah laut.

Seperti kita ketahui bahwa sebuah negara dapat menikmati zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang dihitung 200 nautical mile (nm) dari baseline. Negara diberikan hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi living dan non-living resources atas laut di daerah ZEE.  Sedangkan hak atas continental shelf (landas kontingen) yang dapat dihitung hingga 350nm dari territorial baseline memberikan kebebasan kepada negara untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi non-living resources. Ketentuan hukum internasional ini jelas memberi dampak ekonomis, strategic, serta politik bagi claimant states yang akan di back-up secara hukum jika ingin mengeksplorasi dan mengeksploitasi ZEE dan continental shelf di daerah LCS – tentu setelah memperoleh kepemilikan.

Dasar klaim LCS

Sebenarnya hanya terdapat 2 aspek yang dijadikan dasar utama dalam klaim LCS. Aspek tersebut adalah historis dan hukum. Jika kita ingin melihat pada aspek historis, maka claimant yang menggunakan dasar ini hanya 3 pihak, yaitu China, Taiwan, dan Vietnam. Bagi China, klaim bermula pada masa pemerintahan nasionalis Chiang Kai-Shek pada tahun 1947 yang telah menetapkan “nine interrupted marks” yang mencakup hampir seluruh wilayah LCS. Hal ini ditegaskan kembali oleh Zhou En-Lai yang menegaskan kalim atas wilayah tersebut pada tahun 1951. Namun dalam klaimnya, China tidak menjelaskan aspek hukum dari delimitasi batas maritimnya. Setelah melakukan ratifikasi UNCLOS tahun 1996, China menerapkan ‘archipelagic principle’ saat menggambar batas maritim di sekitar pulau Paracels.

Bagi Taiwan, mereka mengklaim telah menduduki daerah Itu Aba (mencakup sebagian besar wilayah Spratly) sejak tahun 1956. Sedangkan bagi Vietnam, setelah reunifikasi Vietnam sejak tahun 1975, mereka mengklaim Spratly dan Paracels atas dasar historical claims of discovery dan occupation (kependudukan). Namun perlu diketahui bahwa sebelum terjadi reunifikasi tersebut, Vietnam mengakui kepemilikan Spratly dan Paracels di bawah kekuasaan China.

Bagaimana dengan pokok gugatan claimant states lainnya yang merupakan anggota ASEAN? Mereka menggunakan aspek hukum sebagai dasar gugatan. Mereka menggugat bagian tertentu dari pulau Spratly dan menggunakan hukum internasional sebagai dasarnya. Filipina mengklaim sebagian besar daerah Spratly, sebuah wilayah yang disebut dengan Kalayaan pada tahun 1971, dan memperkuat klaimnya dengan melahirkan Peraturan Presiden yang mengatur wilayah tersebut pada tahun 1978. Malaysia memperpanjang wilayah landas kontinennya yang berdampak pada pencakupan beberapa wilayah pulau Spratly. Sedangkan Brunei pada tahun 1998 mengukuhkan wilayah ZEE yang membentang hingga bagian selatan pulau Spratly dan mencakup Louisa Reef.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia bukan pihak dalam sengketa LCS, namun memiliki perhatian khusus pada isu ini mengingat para pihak sebagian besar merupakan anggota ASEAN.

Kejadian-kejadian penting di daerah LCS

Terdapat beberapa kejadian penting di daerah LCS yang patut dicermati untuk memahami problematika LCS secara komprehensif.

  1. Untuk mengukuhkan posisinya sebagai negara yang berkuasa atas LCS, China mengelurkan peraturan yang mengatur tentang laut territorial dan wilayah tambahan “Law of the People’s Republic of China on the Territorial Waters and Contiguous Areas.”.Dengan demikian, China memiliki hak atas Spratly dan wilayah maritim sekitarnya secara hukum nasionalnya.
  2. Pada bulan Februari 1995, China menduduki wilayah Kalayaan, tepatnya pada Mischief Reef. Tidak terima dengan perlakuan China, Filipina menghacurkan marka-marka batas wilayah dan menangkap sejumlah nelayan China pada tahun 1995. Akibatnya, pada tahun yang sama kedua belah pihak menandatangani kesepakatan penyelesaian secara damai di wilayah tersebut.
  3. Pada tahun 1999, Malaysia melakukan perampasan atas Navigator Reef yang di klaim oleh Filipina. Hal ini memperburuk hubungan kedua negara serta mengundang kritik dari Brunei, China, dan Vietnam.
  4. Pada tahun 2002, tentara Vietnam yang sedang beroperasi di salah satu pulau kecil melakukan tembakan peringatan pada pesawat militer Filipina yang sedang bertugas.
  5. Pada tahun 2004, Vietnam sengaja mengirimkan sejumlah warga negaranya ke daerah Troung Sa Lon yang merupakan bagaian dari Spratly. China mengkritik tindakan Vietnam tersebut dan menyebutkan bahwa mereka telah melanggar Declaration on the Conduct of Parties yang ditandatangani tahun 2002.

Kejadian-kejadian tersebut merupakan beberapa pristiwa penting di daerah LCS yang memicu ketegangan diantara claimant states.

Langkah konkret

Para pihak telah melakukan beberapa langkah konkret guna menyelesaikan masalah LCS.

1. Lokakarya “Managing Potential Conflict in the South China Sea

Kegiatan pertama dalam rangka menyelesaiakan konflik LCS yang bersifat multilateral tersebut dimotori oleh Indonesia, dan pertama kali dilangsungkan pada tahun 1990 dengan disponsori oleh Kanada. Lokakarya ini bertujuan untuk menjalin “confidence building” di wilayah LCS. Namun karena sifatnya yang 1,5 track (bukan mengatasnamakan negara tapi bukan juga pihak privat), lokakarya yang dilakukan setiap tahun ini kurang menyentuh akar permasalahan karana pembahasannya menghindari masalah-masalah yang berbau jurisdiksi kedaulatan dan hanya fokus pada low level cooperation. Namun pertemuan tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata, karena salah satu pertemuannya yang dilakukan pada tahun 1991 di Bandung merupakan cikal bakal terbentuknya Asean Declaration on South China Sea.

2. ASEAN Declaration on South China Sea

Deklarasi yang dilakukan di Manila pada tahun 1992 tersebut merupakan hasil dari lokakarya yang dilaksanakan di Bandung sebagaimana disebutkan di atas. Deklarasi tersebut tidak mencakup permasalahan jurisdiksi kedaulatan, akan tetapi merupakan langkah awal untuk memformulasi Code of Conduct (COC) yang bersifat tidak mengikat, berdasar pada penyelesaian sengketa secara damai, dan tidak menggunakan kekerasan. Selain itu, deklarasi ini tunduk pada norma dan prinsip Treaty of Amity and Cooperation (TAC) tahun 1976. China sebagai claimant state terbesar tidak mendukung deklerasi ini karena lebih menginginkan penyelesaian melalui jalur bilateral. Namun pada tahun 1995, China sudah mulai membuka diri untuk membicarakan LCS di tingkat multilateral khusus pada kasus pulau Spratly dan sepakat menggunakan UNCLOS sebagai dasar negosiasi.

3. Pada pertemuan “informal ASEAN Summit” yang dilangsungkan tahun 1999, Filipina yang didukung oleh Vietnam mengajukan draf COC yang pada intinya bertujuan untuk mengalihkan pendudukan atas objek sengketa, memuat ketentuan yang lebih spesifik dari deklarasi Manila, dan mengusulkan untuk melangsungkan joint development di pulau Spratly. Proposal tersebut ditolak oleh Malaysia dan China. Malaysia beranggapan hal tersebut terlalu legalistic dan menyinggung prihal kedaulatan.

4. Malaysia pun mencoba peruntungannya dengan mengajukan deklarasi bersama atas pulau Spratly pada pertemuan ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-35 di Brunei tahun 2002. Langkah tersebut dimentahkan oleh sebagian besar anggota ASEAN karena tidak jelas apakah kesepakatan akan diabadikan dalam bentuk deklarasi atau COC. Karena konsensus tidak tercapai, para Menteri Luar Negeri sepakat untuk bernegosiasi dengan China guna mendeklarasikan bersama “Declaration Conduct of Parties in the South China Sea.

5. Declaration Conduct of Parties in the South China Sea

Deklarasi ini ditandatangani oleh China dan ASEAN di Phnom Penh pada bulan November 2002. Deklarasi ini bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan konflik militer di LCS. Selain itu, deklarasi tersebut juga berpedoman pada UN Charter, UNCLOS, dan TAC.

6. Code of Conduct

Upaya puncak yang dilakukan oleh ASEAN dalam rangka menyelesaikan masalah LCS dalam bentuk COC belum dapat diterima secara bulat oleh negara anggota ASEAN. KTT ASEAN ke-21 yang berlangsung di Phnom Penh belum menyepakati COC sebagai perangkat yang diyakini dapat menyelesaikan polemik LCS. Namun dibahasnya COC yang pada awalnya didraf oleh Filipina ini menunjukkan iktikad baik para pihak terkait untuk lebih serius menyelesaikan masalah dengan memasukkan konten hukum di dalamnya, terutama yang menyangkut dispute settlement melalui kerangka ASEAN (TAC) atau melalui mekanisme yang sejalan dengan hukum internasional temasuk UNCLOS.

Prospek penyelesaian masalah

Berubahnya sikap China yang semula kekeuh agar negosiasiasi terkait LCS harus dilakukan melalui forum bilateral membuka peluang bagi negara-negara terkait untuk melakukan perundingan secara multilateral. Hal ini memberikan kemudahan kepada negara-negara ASEAN untuk bersatu padu dalam merumuskan sebuah perangkat konkret yang dapat diterima bersama. Pembahasan COC yang semakin matang mulai sejak pembahasan di tingakat menteri hingga tingkat presiden pada tahun 2012 di Kamboja merupakan salah satu wujud dari keinginan tersebut. Namun penulis beranggapan ASEAN terlebih dahulu harus solid secara internal sebelum mengajukan proposal tersebut ke China. Sebagaimana digaungkan oleh Mentri Luar Negeri Kamboja dan diamini oleh Sekretaris ASEAN, COC tidak gagal di tingkat ASEAN karena dari segi konsep ASEAN sudah menyepakati “key elements” dari COC.

Indonesia sebagai inisiator lokakarya “Managing Potential Conflict in the South China Sea” dan sebagai big brother di ASEAN diharapkan dapat terus mendukung dan mengambil peranan penting dalam penyelesaian sengketa LCS. Status bukan sebagai claimant state memudahkan Indonesia untuk bertindak sebagai mediator karena posisinya yang netral. Lokakarya perlu terus dilanjutkan guna mendukung 1,5 track dalam menyelesaikan masalah melalui pembahasan joint development dan riset terpadu di daerah konflik.

China diyakini tidak akan memperkeruh masalah dengan memerangi atau memusuhi Taiwan dan negara-negara ASEAN mengingat China memiliki dispute dengan Jepang atas East China Sea. Slain itu, China tidak mau mengambil risiko dengan melibatkan Amerika dalam penyelesaian sengketa mengingat beberapa claimant merupakan “sahabat” Amerika. Dengan demikian, pihak-pihak bersengketa harus memanfaatkan celah ini untuk melakukan perundingan guna perbaikan kondisi di wilayah LCS.

* * *

*Penulis adalah diplomat muda Indonesia. Tulisan ini sebagian besar bersumber dari tulisan Ralf Emmers (Nanyang Technological University, Singapura) yang berjudul “Maritime Disputes in the South China Sea: Strategic and Diplomatic Status Quo” yang dimuat dalam buku “Maritime Security in Southeast Asia” yang diedit oleh Kwa Chong Guan dan John K. Skogan.

 
6 Comments

Posted by on 27 January 2013 in Uncategorized

 

6 responses to “Laut China Selatan: problematika dan prospek penyelesaian masalah

  1. firma

    27 January 2013 at 17:49

    Bravo My Bro! Singkat dan Padat! It is indeed cutting the long story!

     
    • Dudy

      27 January 2013 at 19:08

      Makasih firma, ayo nulis re komunikasi 🙂

       
  2. Berliana nst

    28 January 2013 at 21:22

    Wah, dapat pengetahuan baru, bagus bg sukses terus ya bang 😀

     
    • Dudy

      29 January 2013 at 06:02

      Makasih berlian, sukses petualangan mencari kerjanya ya hehe..

       
  3. Yusuf Sihite

    1 February 2013 at 00:50

    widih ngeri bahasannya om dud,awak jdi bnyk belajar. trutama ttg “passion” keilmuan, smpt murtad dri criminal law, mskipun corporate-mining-anti trust law little bit exiting, Criminal Law Absolutely beat me,now I’m Numb. 😀 😀

     
  4. taraarhunny

    1 February 2013 at 11:53

    Reblogged this on Daydream Voyager and commented:
    MY FAVORITE SALIENT ISSUE

     

Leave a comment